Tulisan ini adalah bentuk keprihatinan tentang Kita, Saudaraku"
Saya
seorang pelajar dari sebuah sekolah. Bukan sekolah tinggi karna isinya
rata-rata menengah kebawah. Sekolah ini juga punya tingkatan dan ijazah
disetiap tingkatnya. Para pelajar disekolahku tidak mengenal teman,
karna pelajar lain adalah saudara. Karna itu kami saling menjaga. Kami
tak pernah diajarkan meminta kembali sebungkus Supermi yang kami beli
dan dimakan saudara kami saat kelaparan.
Kemana-mana lebih
asik dari apa yang diiklankan Sampoerna hijau, karna tak ada yang perlu
dirisaukan, sejauh apapun. Bukan karna banyak uang atau berkecukupan,
namun karna kami saling menjaga. Dan saat ada saudara kami yang
berprilaku diluar dari apa yang saya ceritakan, itu sebenarnya layak
untuk dimaklumi. Karna dalam lingkungan beradat sekalipun tetap ada
oknum yang tak beradat. Dalam 10, selalu ada satu atau dua telur ayam
yang menjadi kerabang. Itu juga tak mutlak salahnya, tentu kelalaian
kami menjaganya juga yang membuatnya bisa berprilaku demikian.
Disekolahku
kami tak diajar pintar, lebih tepatnya kami membelajarkan diri
menggunakan kepintaran dengan menambah wawasan disaat yang sama.
Sehingga dalam pandangan saya selaku orang dalam, prasangka dengan jenis
apapun terutama dengan konotasi negatif mesti dibelajarkan juga untuk
dikontrol, begitupun dengan prilaku dan sifat yang memungkinkan
saudara-saudara kami merasakannya. Jika tidak, maka niat niat baik dari
orang2 yang memunculkan sekolahku tidak menemukan tempatnya pada masa
ini.
Saudara-saudara disekolahku yang tak tinggi umumnya
tentu menyadari hal yang demikian , tinggal kita (secara bersama)
menjaga prakteknya. Karna kepintaran sebagai suatu hal yang baik ketika
difungsikan pada ketidakbaikan, apapun bidangnya, hasilnya sama-sama
kita ketahui. Dan seperti yang saya tulis pada tulisan saya yang
berjudul "Menisik Jejak Pemimpin"; "Kita tentu tidak ingin mengikuti
jejak ormas Islam yang islah baru-baru ini dengan memulai perpecahan
diantara kita di masa-masa sekarang. Perpecahan karna kekecewaan dan
kekolotan kita mempertahankan ego dan bukannya kebenaran, kecuali
kebenaran dalam versi kita (kita-kalangan yang mencipta batas dengan
kita lainnya). Malu dengan kelihaian mengenali masalah dan bukan
solusinya. Malu pada kepandaian memulai/mencipta masalah dan bukan
mencegahnya".
20 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.