Adakalanya kemanusiawian kita kesulitan menemukan tempat
bercerita, karna dunia dan seisinya seakan bersepakat untuk lebih senang
menghakimi daripada memotivasi. Wajar, optimisme menjadi sikap yang
semakin langka di usia muda.
Ada masanya juga
motivasi dimunculkan dalam bentuk penghakiman, tapi bagaimana bisa
kemanusiawian yang rentan dengan penyakit pesimis itu mampu menerimanya
demikian? Sekalipun ia menyadari penghakiman itu hanyalah strategi
memotivasi.
Kenapa kebanyakan kita yang menyadari
kemanusiawian itu berpondasi lembut sehingga mesti disapih dengan
kelembutan juga seakan canggung berlemah-lembut? Dengan sebab yang tak
jelas, berlama-lama dalam mengkritisi yang sudah disadari seakan menjadi
sebuah "mesti" yang tak terelakkan.
Tentu bukan
karna dunia yang bermetamorfosis menjadi neraka masalah. Seperti kata
seorang anggota Jurnalis Sekolah Majalah Analisa sore ini; " masalah itu
sudah ada, bahkan semenjak kita belum lahir".
Bukan,
bukan juga karena dunia dan seisinya berubah kasar dan tak ramah,
apalagi karna tuhan menurunkan jumlah cinta jika bisa diukur dengan
angka. Mungkin karna iman kita bertambah yang efek pertambahan
kuantitasnya hanya pada rasa malu (adalah sebagian daripada iman). Dan
malu itu entah kenapa hanya menjurus pada satu titik, malu berlemah
lembut. Memotivasi dengan menghakimi.
10 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.