Seorang kawan, Muhammad Farid Alfarisi menulis dalam statusnya di salah satu jejaring sosial: "dua orang mahasiswa yang bertengkar karena memperebutkan seorang gadis adalah sebuah kebodohan, karena itu tidak ilmiah (Achmad Munif)".
Saya berpendapat, yang tidak disadari Achmad Munif adalah: tidak ada logika dalam persoalan hati, sehingga kebodohan kadang menjadi hal paling masuk akal untuk mendapat dan mempertahankannya.
Jhon Nash saja waktu menerima penghargaan Nobelnya mengatakan bahwa penemuan paling penting dalam karirnya adalah: hanya di persamaan misterius cinta alasan logis bisa ditemukan.
Saya sepakat dengan Jhon Nash. Bunga memang tak setangkai, tapi hati tidak pernah memilih bunga yang tak disukainya. Tidak ada keilmiahan yang memberikan jawaban untuk persoalan hati, karena hati bukanlah perkara ilmiah dan tidak perlu diilmiahkan. Jika ada yang mengatakan bahwa ia memberikan keilmiahan hatinya, maka isi hati itu tidak lebih dari persoalan untung rugi.
Satu-satunya ketidak ilmiahan yang layak adalah dalam cinta. Perlukah seorang profesor merasa bodoh ataupun malu mengganti popok anaknya karna cinta padahal disebelahnya ada istri yang sedang tersenyum tanpa berbuat apa-apa?
Perlukah seorang anak yang bergelar doktor merasa malu memapah ibunya yang renta dengan kotoran yang berceceran ditempat ramai sekalipun dihujani pandangan jijik orang-orang yang lewat?
Perlukah seorang pria yang hidupnya bergelut dalam dunia ilmiah merasa malu akan usahanya dalam mencintai?
Bukankah pecinta rela membunuh karna apa yang ia tak senangi menimpa yang dicintainya? Dan itu karena tidak ilmiahnya cinta.
Dan bukankah ketika cinta diilmiahkan maka yang ada hanyalah persoalan untung rugi, seperti anak yang membunuh orangtuanya karena warisan, suami membunuh istri karna istri melarangnya menikah lagi seperti yang banyak diberitakan surat kabar negeri ini. Achmad Munif termasuk yang demikian menurut saya.
Adik saya Mittya Ziqroh, aktivis LSM Nurani yang juga memegang amanah sebagai Komandan Brigade Pelajar Islam Indonesia (PII) Sumatera Barat Periode 2011-2013 mengatakan bahwasanya soal perasaan dan hati itu tidak bisa di empiriskan, karena hati dan perasaan tu memang tidak nyata! Kecuali jika ia bisa diukur. Tapi tentu saja sesuatu yang empiris itu sesuatu yang dapat diukur secara jelas, sambung mahasiswi sosiolog Unand yang InsyaAllah akan wisuda pada Maret 2012 mendatang tersebut.
21 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.