Senin, 11 Maret 2013

Sahabat


Sederhananya, kondisi sekarang terjadi karna hal yang dulu itu tidak dilakukan lagi. Yang tak bisa kita hindari adalah perubahan. Kenapa? Karena perjalanan waktu yang mengantarkan semuanya. Dengan apa kita isi perjalanan itu, maka itulah hasil yang sampai pada kita. Setiap orang pasti bisa menerima perubahan, selama perubahan itu ke arah yang lebih baik.

Seringkali kita hanya belum paham, lalu sesuatu terjadi.
Seringkali kita hanya belum siap, lalu sesuatu terjadi.
Seringkali kita hanya belum mau, lalu sesuatu terjadi.
Sebenarnya ini bukan soal sabar, ini tentang menyesuaikan diri.
Menyesuaikan diri yang dimaksud tidak harus dengan menerima mentah-mentah perubahan itu, tapi bisa juga dengan menolak sambil menawarkan solusi baru.
Saya pernah menemukan sebuah pertanyaan; kenapa masih saja susah untuk bicara?
Jawabannya karena kita terlalu sering ingin dimanja dengan menjadi orang terakhir yang memulai, dan merasa pantas untuk menerima kata mohon, maaf, sedangkan itu keangkuhan sederhana yang sulit diterima lawan bicara. Itu bukan susah tapi keangkuhan tak bertempat. Maraknya, ini hanya kasus untuk orang-orang yang akan, sedang atau pernah dekat.
Dalam berteman yang kita butuhkan adalah kenyamanan, hanya karena kita nyaman maka kemudian kita bisa bertahan untuk bersama seseorang. Tapi kenyamanan itu sesuatu yang rapuh. Maka untuk menguatkannya diperlukan pemahaman dan memahami. Pemahaman dan memahami itu merupakan tindakan pencegahan konflik. Itulah sebabnya pemahaman dan memahami itu mesti berlandaskan pikiran positif.
Misal; tanya pljran ke tmn lain aja dia marah? knpa ga tanya kedia?
Memang gak menyenangkan jika demikian, kita merasa diatur sedemikian rupa dengan kehendak orang yang kita spesialkan dihati itu, itu jika dilihat sekilas. Nah, ketika kita lihat dengan pemahaman dan memahami dengan cara berpikir positif, yang tidak diungkapkan ketika seseorang bersikap demikian adalah: Aku ingin ada buat kamu, kenapa saat aku menyediakan diri untukmu, kamu justru memilihnya? Aku cembokat, eh, cemburu !
Kenapa harus selalu dia yang dipahami?
Apa kita tidak dianggap demikian?
Sakit hati dan dongkol merupakan bentuk dari kekecewaan. Kekecewaan muncul ketika sesuatu yang kita harapkan tidak terjadi. Kita berharap karena kita percaya, entah pada apa yang kita lihat dari seseorang atau sesuatu itu. Dan kadang, kita berharap terlalu banyak dengan terlalu sedikit menyampaikan. Akibatnya pemahaman tidak sebanyak yang kita mau. Sementara kita inginnya dipahami. Padahal kita juga tau bahwa setiap orang inginnya begitu. Memulai sesuatu yang baik, dengan niat baik, tidak pernah berarti bahwa kita kalah. Kitalah pemenang karena kita yang melakukan usaha yang menjadi sebab hal-hal baik terjadi.
Yang menjadi masalah antara "sahabat" bukan tentang perasan satu sama lain. Tapi hanya persoalan cara.
Cara kita menganggap, melihat dan bersikap pada sang sahabat, dan cara sang sahabat menganggap, melihat dan bersikap pada kita. Kadang kita sampai pada titik jenuh dalam menghadapi hidup, sehingga kita sulit melihat apalagi menerima kebenaran.
Misal; jika kita menganggap seseorang itu sebagai orang yang penting dihati, melihatnya sebagainya bagian dari kenyamanan kita, kita sama-sama tau bagaimana harusnya bersikap pada orang itu. Dan bandingkan dengan yang kita lakukan. Masalah itu bukanlah masalah, masalah adalah cara kita bersikap menghadapi masalah.
Sedalam apapun perasaan, jika sikap kita berkhianat terhadap perasaan itu, maka apa gunanya?

30 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.