Senin, 05 November 2012

Rokok

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم


(Sebuah Kenangan Bersama Nenek)

Saya ada di masa lalu. Dirumah kebesaran keluarga kami. Rumah kebesaran yang hanya bisa disebut secara adat; rumah gadang-bernama sesuai dengan fungsi dan fisiknya. Dari sana saya belajar, yang diharapkan dari nama adalah kesesuaian dengan fungsi atas keberadaan sesuatu. Hingga saya menekankan pada diri sendiri, untuk “arif” maka saya harus berilmu, cara utamanya banyak membaca. Untuk “rahman” saya harus kaya, caranya dengan banyak mencoba.

Kebesaran rumah gadang kami dimegahkan oleh kemestian adanya anjungan yang berposisi lebih tinggi sebagai salah satu bagian utamanya. Ditempat yang lebih rendah ada ruangan luas sebagai ruangan utama yang akan ditemui saat pertama membuka pintu masuk. Sebelah kanan dari pintu itu ada dua buah kamar ukuran 3 kali 4 meter yang pintunya berdekatan. Diseberangnya, berhadapan dengan pintu utama tempat kita masuk itu, ada pintu dapur yang berdekatan dengan kamar mandi. Sementara dianjungan juga ada ruangan luas tempat keluarga berkumpul dan menerima tamu. Serta dua buah kamar yang sedikit ditinggikan dari tempat terluas dianjungan tersebut.

Kamar  paling ujung dianjungan itu pernah jadi tempat termewah bagi kami, cucu Sariani. Masa kecil saya dipenuhi dongeng, hingga kemudian mengantar lelap dengan mimpi-mimpi besar sambil menghisap ibu jari. Kata Ibu, saya yang paling lama melakukannya.

Dirumah gadang itu dulu saya belajar membuat lepat pisang bersama nenek, ataupun godok dilain ketikanya. Itu cara nenek untuk mengajarkan kami agar tak candu menikmati hasil dengan menciptakan keinginan untuk pandai meraih lewat proses. Karna hasil yang tak instan menyisipkan kepuasan, bukan sekedar kenikmatan. Ya, puas itulah nikmat sebenarnya.

Nenek berjiwa besar dengan sederhana disetiap kesempatan. Lepat, godok dan apapun yang bernilai jual tidak akan diuangkan sebelum ia pasti cucunya telah melepaskan keinginan terhadap hal itu. Selera nenek sendiri tak minta banyak, yang paling ia butuhkan setiap hari adalah kesediaan teh manis. Bahkan sampai akhir hari tuanya. Lalu miso sesekali. Itu saja, betapa sederhananya wanita itu dengan kekayaan senyum. Sementara yang ia lakukan seakan hari esok meminta segala hasil dari jerih payah. Ia gagah direntanya.

Nenek seringkali menunjukkan ketegasannya yang bukan jenis dari keras hati. Saat sedang mengaduk adonan, adakalanya saya dipanggil teman-teman untuk bermain. Ia tak melarang selama batas tugas kami diselesaikan. Pengertian dengan etika kerja, itu nilai lebihnya. Karna pada dasarnya, saat kita tak menyediakan diri untuk mengerti, kita hanya ingin menguasai.

Bersambung.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.