Jumat, 02 Desember 2011

Sudahkah Kau Menikah?

Bagaimana kabarmu?
Sudahkah kau menikah?

Ingin sekali kuajukan soal demikian.

Aku tau, kita tak akan bertemu untuk sesuatu yang sifatnya basa-basi. Sekarang semuanya terkesan lebih formal dan kaku. Tak begitu perlu pemahaman tentang bagaimana menyesali keberadaan  komunikasi yang bebal ini. Kita sama-sama berjasa akan keberadaannya. Bahkan, untuk sepatah maaf saja tak satupun diantara kita yang bisa mengucapkannya dalam canda. Bahkan, tawa yang kita bagi tidak semanis masa kecil dulu. Bahkan, dijarak sedekat ini hati kita terasa menjauh. Oh, bukan lagi terasa, kenyataannya demikian.

Aku menempuh jalan yang diajukan PMDK kepadaku, dan kau menempuh jalan yang kau pilih sendiri, sekalipun kemudian kau menyesalinya. Kau sesali setelah jenuh berusaha. Jalan itu tak salah, kenyataannya jalan itu sebenarnya bukan untukmu. Waktu itu, rasa cintamu pada kami yang menguatkan tekad untuk melaluinya.

Kisaran 18 tahun dunia akademik ini kugeluti, lebih malah, namun belum banyak kebaikan yang bisa kutumpahkan kehatiku sendiri. Jangankan ke orang lain, seandainya kau menanya. Kau mungkin tak akan bertanya, tapi hendak kusampaikan jua bahwa aku selalu ingat malam itu. Jangan lagi kau minta aku menyesal, senyum di wajah ini tidak berefek pada kenyamanan di dalam. Karnanya berhentilah menghakimiku, aku cukup tau diri.

Kita punya perasaian masing-masing, hiduppun masing-masing, mungkin bejana duka yang membuat kita bertemu dalam kesan yang berbeda. Semoga jangan lagi, aku tak pernah berharap begitu.

Kau ingat, dulu saat sedang marah aku pernah mengejarmu dengan parang terhunus sepanjang jalan kampung. Sedang kau lari sambil tertawa. Hari ini aku mengingatnya lagi. Tapi saat mengenang, rasanya waktu itu aku mengejarmu dengan senyum. Bukan, bukan senyum penjahat, itu namanya seringai. Dalam kenangan, aku mengejarmu dengan senyum kasih. Senyum yang tak pernah lagi kumiliki sejak kita bersekolah di tempat yang berbeda. Ya, aku tak pernah lagi tersenyum saat marah. Orang-orang yang pernah melihat mengatakan bahwa aku tak seperti diriku yang mereka kenal, saat aku marah. Dulu saat aku masih punya, aku menangis waktu kau tinggal aku dirumah nenek, padahal tak lama.

Apa kau masih ingat dia yang menangis bermalam-malam karna caramu pergi? Wanita itu sering bercerita padaku tentang kemewahan cintanya padamu. Mengenai besar harapannya dipundakmu, tapi tak untuk kau jadikan beban. Kau masih ingat dia?

Malam ini aku menulis keluh, jika demikian kau menilainya. Kalaulah boleh, semoga saja kau sudi melihat tulisan ini sebagai cerita hati. Berharap suatu saat kau baca sekalipun bukan dalam waktu dekat. Entah kapan, aku sangat berharap.

Dan setelah kau baca, tolong jangan marah…

Yaa…


28 November 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.