Sabtu, 20 Agustus 2011

Malam Kedua Ramadhan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…


Saya telah do’akan kebaikan atas anda pada bagian awal tulisan ini, semoga anda menyadari hukum menjawabnya dan sadar akan kebutuhan saya saat anda melantunkan jawaban. Dan yang terpenting, ikhlas…

Malam ini malam kedua Ramadhan 1432 Hijriah. Aku tak mengunjungi mushola ataupun mesjid untuk sholat  Tarawih berjama’ah. Semangatku kehilangan daya. Dan aku hanya diam saat bunda melongokkan wajahnya kekamarku, mengingatkanku untuk sholat. Entahlah, rasanya di dunia tak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, yang tak ada apa-apa disana, tak ada siapa-siapa disana.

Malam ini aku hanya ingin sendiri, kuminta adikku yang paling bungsu mencari tempat sendiri diluar wilayah otonomku. Aku tau ia kecewa karna mungkin baginya waktu telah berjalan cukup lama supaya aku memberinya izin memegang stick dan memainkan FC Wristlet, group master league-nya dalam game Winning Eleven. Tapi ia menurut, dengan lembut dan senyum tipis yang ikhlas. Pengertian yang kita dan aku jarang praktekkan.

Setelah ia keluar, aku hanya menekur. Agak lama, mencari asal sepi. Dan dibelakang tulang igaku sebelah kiri terasa perih. Kesalku berontak, dalam hiba.

Aku mencoba sabar, sulit. Dadaku tak cukup lapang untuk kata itu. Sehingga setiap sinis setipis apapun, atau sindiran sehalus apapun, yang asalnya dari siapapun, mataku mendadak lebih tajam dari yang diperlihatkan elang. Bisa juga sebaliknya, dipejam rapat-rapat seiring gemeretuk gigi. Supaya tak terlalu tumpah keluar, menyakiti.

Banyak orang menawarkan tempat dimana aku bisa membaginya, agar mereka bisa mengerti bagaimana bisa memahami kerapuhanku. Dan prilaku pesaing juga datang dari sumber yang sama, berkali-kali. Dengan keegoisan stadium terparah aku memohon untuk dimengerti, yang aku sendiri tak mampu melakukannya.

Aduh, kepalaku terantuk saat mencoba bersandar.

Kata-kataku malam ini; “sebenarnya tidak ada orang yang memilih-milih pekerjaan, yang ada itu orang yang malas bekerja”. Kata-kata barusan itu hanya selingan, sebelum kulanjutkan kisah pesakitan dibelakang tulang iga sebelah kiri.

Ughh, kepalaku rasanya sakit sekali. Kulanjutkan saja tulisan ini esok hari.

Aku ingin keluar rumah, mencari hal-hal yang bisa merapikan kekacauan dalam kepalaku. Aku ingat, kemaren Rezi datang kerumah. Rezi ini manusia yang tak pernah bisa diam. Ia pejalan sejati, seringkali menyenangkan melakukan perjalanan bersamanya. Aku menyambutnya dalam keadaan setengah sadar. Dan samar aku ingat ia mengajakku hunting foto ke Koto Tinggi, kampung asalnya Tan Malaka, tempat pertahanan terakhir republic ini di masa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) setelah Indonesia merdeka. Saat telah benar-benar sadar, kusesali kekurangsadaranku. Mengesalkan.

Kurang sadar bukan berarti kurang waras. Kurang sadar berarti belum bisa menguasai diri guna mengenali keadaan sekitarmu sepenuhnya untuk sesaat itu saja. Kurang waras artinya kau layak mengunjungi Rumah Sakit Jiwa, dan aku waras. Bukti kewarasanku, aku minta maaf telah mengatakan kau layak mengunjungi Rumah Sakit Jiwa.

Peace…

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sangat diharapkan.
Atas komentar yang Anda berikan, Kami ucapkan Terimakasih.
Bersama Kita berpikir untuk INDONESIA dan DUNIA.