Arif Rahman

Penulis Buku : "Ketika Udara Terjungkir Di Bawah Langit Bumi.

Arif Rahman

Jasa Ghost Writer Professional.

Arif Rahman

Arif Rahman dan yulia Diana.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Refleksi 21 Agustus

Seorang teman pernah berkata: “The awkward moment when people say Happy Birthday to you, and you just stand there clue less”.


Hari ini 21 Agustus lagi untuk tahun yang pernah saya temui. Meski jumlahnya telah lebih dua puluh, tak penuh jari tangan sebelah yang membuatnya maknanya bisa kupahami sebagai hari jadi. Lebih sedikit lagi yang memantaskan momentnya sebagai kenangan manis. Tapi aku telah biasa, hal apapun tergantung persepsi yang memandang (menghibur diri dengan berpikir positif).

Seperti tahun lalu, kali ini 21 Agustus mendapat tempat di bulan ramadhan, yang tuhan janjikan kebaikan berlipat disetiap detiknya. Bedanya, orang-orang baik yang ada disekitarku mungkin tak lagi sama. Bertambah atau berkurang, entahlah. Yang pasti dihatiku wajah lama tak pernah hilang, wajah orang-orang baik.

Dari 21 Agustus pertama (yang kusadari), sampai 21 Agustus hari ini, aku tak pernah menghitung berapa hati yang kusakiti. Tak jua mengkalkulasi perilaku tak baik yang kunikmati (setiap detiknya). Jika saja buku pencatat amal itu halamannya terbatas, mungkin malaikat Atid (yang mencatat amal tak baik) telah seringkali meminta buku tambahan untuk mencatat amalku yang tergolong dosa. Dan jika saja malaikat punya rasa iri, telah tinggi tumpukannya setiapkali melihat Raqid (malaikat pencatat amal tak baik) ongkang-ongkang kaki, yang jangankan meminta tambahan buku, halaman pertama saja mungkin belum penuh. Seandainya saja buku itu diperjual belikan, aku termasuk sebab kenapa penjualnya bisa menjadi orang kaya dalam hal materil.

Berbanding terbalik amaliyahku dengan mereka orang-orang yang tuhan sediakan tempat di syurganya. (Salah satu pengetahuan bahasa yang kuingat dalam menyatakan nama tempat, jika awalan “di” dipisah dari kata sesudahnya berarti tempat itu jauh dari subjeknya. Jarakku memang jauh dari syurga itu sendiri, sangat jauh. Tapi aku ingin ada disana suatu ketika nanti. Sehingga jika mendengar kata kado, aku berdo’a; “semoga 21 Agustus ini Allah SWT memberi kado berupa puasa yang diterima, pahala yang banyak, lailatul qadar yang mulianya setara seribu bulan dalam limpahan ridha Allah SWT serta hidayah bagi setiap umatnya terutama yang berhari jadi dibulan yang mulia ini. Amin yaa rabbal alamiin). Aku berani berdo’a demikian, karna aku percaya pintu ampunan tuhan selalu terbuka karna rahmanNya yang tidak terbatas. Allahuakbar.

(Tulisan ini ditulis bukan untuk mengecilkan apresiasi hari jadi yang disampaikan kepada saya. Saya menulisnya sebagai penghargaan kepada siapa saja yang menganggap hari jadi itu ada.)

NB: Tulisan ini dikirim dari masa lalu, 18 Agustus 2011

Malam Kedua Ramadhan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…


Saya telah do’akan kebaikan atas anda pada bagian awal tulisan ini, semoga anda menyadari hukum menjawabnya dan sadar akan kebutuhan saya saat anda melantunkan jawaban. Dan yang terpenting, ikhlas…

Malam ini malam kedua Ramadhan 1432 Hijriah. Aku tak mengunjungi mushola ataupun mesjid untuk sholat  Tarawih berjama’ah. Semangatku kehilangan daya. Dan aku hanya diam saat bunda melongokkan wajahnya kekamarku, mengingatkanku untuk sholat. Entahlah, rasanya di dunia tak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, yang tak ada apa-apa disana, tak ada siapa-siapa disana.

Malam ini aku hanya ingin sendiri, kuminta adikku yang paling bungsu mencari tempat sendiri diluar wilayah otonomku. Aku tau ia kecewa karna mungkin baginya waktu telah berjalan cukup lama supaya aku memberinya izin memegang stick dan memainkan FC Wristlet, group master league-nya dalam game Winning Eleven. Tapi ia menurut, dengan lembut dan senyum tipis yang ikhlas. Pengertian yang kita dan aku jarang praktekkan.

Setelah ia keluar, aku hanya menekur. Agak lama, mencari asal sepi. Dan dibelakang tulang igaku sebelah kiri terasa perih. Kesalku berontak, dalam hiba.

Aku mencoba sabar, sulit. Dadaku tak cukup lapang untuk kata itu. Sehingga setiap sinis setipis apapun, atau sindiran sehalus apapun, yang asalnya dari siapapun, mataku mendadak lebih tajam dari yang diperlihatkan elang. Bisa juga sebaliknya, dipejam rapat-rapat seiring gemeretuk gigi. Supaya tak terlalu tumpah keluar, menyakiti.

Banyak orang menawarkan tempat dimana aku bisa membaginya, agar mereka bisa mengerti bagaimana bisa memahami kerapuhanku. Dan prilaku pesaing juga datang dari sumber yang sama, berkali-kali. Dengan keegoisan stadium terparah aku memohon untuk dimengerti, yang aku sendiri tak mampu melakukannya.

Aduh, kepalaku terantuk saat mencoba bersandar.

Kata-kataku malam ini; “sebenarnya tidak ada orang yang memilih-milih pekerjaan, yang ada itu orang yang malas bekerja”. Kata-kata barusan itu hanya selingan, sebelum kulanjutkan kisah pesakitan dibelakang tulang iga sebelah kiri.

Ughh, kepalaku rasanya sakit sekali. Kulanjutkan saja tulisan ini esok hari.

Aku ingin keluar rumah, mencari hal-hal yang bisa merapikan kekacauan dalam kepalaku. Aku ingat, kemaren Rezi datang kerumah. Rezi ini manusia yang tak pernah bisa diam. Ia pejalan sejati, seringkali menyenangkan melakukan perjalanan bersamanya. Aku menyambutnya dalam keadaan setengah sadar. Dan samar aku ingat ia mengajakku hunting foto ke Koto Tinggi, kampung asalnya Tan Malaka, tempat pertahanan terakhir republic ini di masa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) setelah Indonesia merdeka. Saat telah benar-benar sadar, kusesali kekurangsadaranku. Mengesalkan.

Kurang sadar bukan berarti kurang waras. Kurang sadar berarti belum bisa menguasai diri guna mengenali keadaan sekitarmu sepenuhnya untuk sesaat itu saja. Kurang waras artinya kau layak mengunjungi Rumah Sakit Jiwa, dan aku waras. Bukti kewarasanku, aku minta maaf telah mengatakan kau layak mengunjungi Rumah Sakit Jiwa.

Peace…

Salam Untukmu Pembaca




Aku tumbuh dalam jagat rasa yang berbeda, dibanding Engkau pembaca. Pemikiranku dipengaruhi teori-teori yang kadang tak mampu kuaplikasikan sendiri. Sebagaimana bantahan jiwaku pada kebenaran teori, bahwa manusia adalah makhluk social, sebab kenapa aku sering menyendiri diganggu nyamuk dan dikotori jaring laba-laba.

Lalu Kau hadir dan membuatku lebih sering bicara, sebagai diriku yang baik, dibanding keringkihan emosi yang membuat dada sesak. Kau, bagian dari orang-orang baik yang telah berlapang hati mencoba bersabar melawan rasa tertekan menghadapi ketidakjelasanku, pun ketidak jelasan pada apa yang hanya Engkau mengetahui dan ingin Engkau ketahui ataupun yang Engkau dipaksa mengetahuinya.

Dengan sungguh, aku tak berani berkata lebih menerima kesabaran dan umpat kesalmu. Sehingga kesadaran hanya membuatku bisa diam, yang nyatanya adalah sikap yang tak akan pernah Kau sukai.

Dengan kesungguhan setara, kususun kata-kata untuk menjawab pertanyaan sulitmu, “kenapa?”. Pertanyaan yang sering membuat manusia tak menemukan kata bagi jawabannya.

Aku bercerita, berpuisi, berimprovisasi dalam kata, berharap setelahnya Kau baca dan mengilhami pemahaman baru tentang ide, pengertian, dan perasaan. Sedikit-sedikit, kuselipkan jawab untuk jeritnya, untuk ia sang wanita.

Kemanusiawianku memahami perihmu, sayangnya sikapku tidak, dimatamu. Dan disini aku berupaya mendapatkan pemahaman yang bukan lagi sekedar usaha untuk memahamiku.

Semua ini hanya tentang caraku membuatmu mengerti ketidakjelasanku, pun ketidak jelasan pada apa yang hanya Engkau mengetahui dan ingin Engkau ketahui. Yang bahkan kesombongan memaksaku rendah hati meski dalam diam. Meski kadang setan menyela: “entahlah, apakah ini pasrah yang ikhlas, atau putus asa karna matinya akal”.

18 Agustus 2011

Rabu, 03 Agustus 2011

Tentang Cinta



Are you loving enough?


There is some one dear,
Some one you hold as the dearest of all
In the holiest shrine of your heart.
Are you making it known? Is the truth of it clear
To the one you love? If death's quick call
Should suddenly tear you apart,
Leaving no time for a long farewell,
Would you feel you had nothing to tell---
Nothing you wished you had said before
The closing of that dark door?

Love till Death




HOW Could I Love You More? 

I would give up
Even that beauty I have loved too well
That I might love you better.
Alas, how poor the gifts that lovers give�
I can but give you of my flesh and strength,
I can but give you these few passing days
And passionate words that, since our speech began,
All lovers whisper in all ladies' ears.

I try to think of some one lovely gift
No lover yet in all the world has found;
I think: If the cold sombre gods
Were hot with love as I am
Could they not endow you with a star
And fix bright youth for ever in your limbs?
Could they not give you all things that I lack?

You should have loved a god; I am but dust.
Yet no god loves as loves this poor frail dust. 

~ Richard Aldington