Arif Rahman

Penulis Buku : "Ketika Udara Terjungkir Di Bawah Langit Bumi.

Arif Rahman

Jasa Ghost Writer Professional.

Arif Rahman

Arif Rahman dan yulia Diana.

Sabtu, 25 Juni 2011

Sepucuk Ma’af dalam Kintir Cinta BagiMu.(Curhatku Pada Tuhan)



Tuhan, jika memang aku akan pulang dalam waktuMU yang tak tentu, maka sungguh saat ini aku belum punya apa-apa untuk kubawa, pun untuk kutinggalkan. Hanya ketiadaan dari cinta yang sempat kutitipkan dari hati pada segelintir orang, sekedar memenuhi syarat bahwa aku cukup manusiawi sebagai manusia biasa. Aku bukan pelaku ibadah yang gagah, tak pula pembawa tawa untuk petugasMU si pencabut nyawa. Sehingga mungkin itu jadi sebab aku ingin hidup lama, sampai batas masa yang tak ingin kudefinisi.

Sisi mana yang cukup manis dan bisa kutempati dalam semestaMU, yang kau izinkan aku berbuat semena-mena disana? Bukankah tak ada. Bukankah kata “merdeka“ yang kau izinkan kami para khalifah di duniaMU ini kenali berhakikat nisbi, selalu ada batas dan aturan dalam kemerdekaan itu. Dan aku tetap saja tak mengenalnya dalam dunia nyata, hanya ilusi. Seperti belukar padang impian. Impian yang menyenangkan. Heheh, aku punya puisi tentang itu.

Kau tau apa yang sedang terjadi dalam tubuhku, mungkin ia sedang bermetamorfosa ke stadium sialan yang orang sok pintar berjubah putih itu katakan. Aku tak begitu mempedulikannnya. Tapi aku tak bisa abai pada waktuMU yag tak tentu, entah yang keberapa kali hatiku bersujud dengan suara nan lebih lembut untuk pengabulanMU, izinkan aku ada lebih lama…

Aku bukan kekasih yang datangnya membawa bahagia, aku anak yang Kau titipkan durhaka dipundaknya. Lalu jika si Izrail yang aku sudah lupa ia urutan keberapa dalam petugasMU yang sepuluh itu bertamu sekarang, mesti kujamu dengan apa untuk memunculkan senyum dan kelembutan saat ia mulai menyentuh nadi tak kasat mata yag Kau hembuskan dulu saat cikalku masuk empat puluh hari?

Aku tau Kau menjawab tuhan, kebebalanku yang tak mampu mendengarMU.

Jumat, 17 Juni 2011

Kesesuaian antara Al-Qur'an dan Pancasila

PANCASILA

I
An Nahl ; 22 & 51
Al Isro’ ; 22 – 23
Al Kahfi ; 110
Al Mu’minun ; 91
Al Hasyr ; 22
Al Ihlash ; 1 – 4

II
Al Baqoroh ; 213
An Nisa’ ; 135
Al Ma’idah ; 2 & 8
An Nahl ; 90
Al Isro’ ; 70
Al Hadid ; 25

III
Ali Imron ; 103
Al Anfal ; 46
As Syuro ; 13
Al Hujurot ; 10 ,11 & 13

IV
Ali Imron ; 159
As Syuro ; 38

V
Al Baqoroh ; 177
An Nisa’ ; 36
Al Ma’idah ; 2
At Taubah ; 103 & 105
Al Isro’ ; 26
Al Furqon ; 67


(¯`v´¯)
`•.¸.•´
¸.•´... ¸.•´¨) ¸.•*¨)
(¸.•´ (¸.•´ .•´ ¸¸.•¨¯`•.


Semoga jadi bahan yang bermanfaat bagi kita semua, amin.

Peranan Otak Manusia Terhadap Pemerolehan Bahasa.

Disini akan dibahas kaitan antara otak manusia dengan bahasa. Betapa besar peranan otak kita dalam pemerolehan, pemahaman dan pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode Semantik, enkode Gramatikan, dan enkode Fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode Fonologi, dekode Gramatikal, dan diakhiri dengan dekode Semantik. Semua proses ini dikendalikan oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas manusia (Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik 2003).

a.Hipotese Umur Kritis menurut Lenneberg dengan teorinya Hipotese Umur Kritis (Crytical Age Hypotesis), dikatakan bahwa seorang anak yang berumur dibawah belasan tahun, minimum 12 tahun akan dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan seorang penutur asli (Lenneberg, 1967). Otak manusia mempunyai Hemisfer 2 buah, Hemisfer kiri dan kanan, kedua-duanya di kendalikan oleh Korpus Kalosum. Pada umur dibawah belasan proses literalisasi belum terjadi (lenneberg),
1967) namun Krashen menyanggahnya dan mengatakan bahwa pada umur 4-5 tahun proses literalisasi ini sudah terjadi.

b.Kekidalan (left-handed) dam kekinanan (right-handed)Ada orang yang kidal dan ada juga yang kinan, bahkan ada pula yang dapat menggunakan kedua tangannya secara berimbang (ambidextrous) disebut ambidektrus. Disebutkan bahwa Hemisfer kiri adalah sebagai Hemisfer dominan bagi bahasa, sedangkan Hemisfer kanan untuk emosi, lagu, isyarat baik yang emosional maupun yang verbal. Berdasarkan penelitian bahwasanya bagian depan dari otak kita tidak mempengaruhi seseorang untuk berbicara dengan baik dan benar, namun bagian kepala yang disebut dengan Medan Broce (Broca)-lah yang memiliki peranan penting dalam berbahasa. Yang terjadi dalam masyarakat kita adalah sesuatu yang buruk itu berasal dari kiri. Hal ini sudah menjadi budaya. Namun masalah kekidalan adalah semata-mata masalah genetik, namun belum ada penelitian yang menyatakan bahwa terdapat dampak dari pemaksaan memakai tangan kanan. Adakah hubungannya antara kekidalan dan kekinanan dengan kemampuan intelektual? Hal ini masih menjadi perdebatan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Pada Anak

Faktor dasar yang mempengaruhi pemerolehan bahasa (pertama) pada anak adalah karena pemerolehan bahasa dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi (anak memerlukan bahasa pertama ini untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya).

Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa.

Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.

Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.

Tahap-Tahap Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pada Anak

Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakn suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari bahasa (Tarigan dalam Prastyaningsih, 2001:9). Lebih jelasnya pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang pertama kali dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan potensi kognitif yang dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara alamiah.

Pemerolehan bahasa pertama, anak juga sudah mampu menyusun kalimat meskipun masih sangat sedarhana. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Busri,2002:37-38). Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan huruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya atau tanda seru dan sementara itu disertai pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!), sepadan dengan intonasi selesai, sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan diwujudkan sebagai ruang kosong setelah tanda titik, tanda tanya dan tanda perintah atau ruang kosong sebelum huruf kapital permulaan. Alunan titi nada pada kebanyakan hal tidak ada pedananya dalam bentuk tertulis.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk. Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi se-hari-hari oleh seseorang di dalam lingkungan ke-lompok masyarakatnya, yang ia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahasa ibu atau bahasa pertama orang tersebut.Pada pe-merolehan bahasa pertama siswa "berangkat dari nol" (dia belum menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini seiring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya.

Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa. Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.

Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak. Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.

Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.

Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.

Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.

Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.

Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi yaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang tersela, yaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa

Pada pemerolehan bahasa kedua, siswa sudah me-nguasai bahasa pertama dengan baik dan per-kembangan pemerolehan bahasa kedua tidak se-iring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Pemerolehan bahasa kedua tidak sama de-ngan pemerolehan bahasa pertama. Hal ini karena pemeroleh-an bahasa kedua dilakukan secara formal dan motivasi siswa pada umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa kedua tersebut tidak dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan ma-syarakat siswa tersebut.

Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk mempelajari bahasa kedua:

1. Kemampuan bahasa.
Biasanya apabila seseorang memutuskan un-tuk mempelajari bahasa kedua secara formal, ia akan melalui tes kemampuan bahasa atau language aptitude test yang dilakukan oleh lembaga kursus bahasa untuk menilai kecakapan/bakat bahasa yang dimiliki oleh orang tersebut. Tes ini terbukti cukup efektif untuk memprediksi siswa-siswa mana yang akan sukses di dalam pembelajaran bahasa kedua. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat mengenai kemam-puan bahasa atau language aptitude itu sendiri.

2. Usia.
Sebagian besar masyarakat umum masih meyakini bahwa untuk belajar bahasa kedua akan lebih baik dilakukan ketika masih anak-anak. Bela-jar bahasa kedua ketika telah dewasa akan terasa lebih sulit. Tetapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai hal ini gagal untuk membuk-tikan kebenaran keyakinan masyarakat umum tersebut.
Mereka yang mulai belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tetap dapat mencapai tingkat ke-berhasilan yang cukup tinggi. Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai hal ini hanya mampu menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tidak mampu merubah aksen mereka seperti aksennya penutur asli, aksen orang dewasa adalah aksen bahasa pertama yang sulit untuk dirubah. Orang dewasa cenderung lebih cepat memperoleh bahasa kedua dibandingkan dengan anak-anak, hal ini dikarenakan otak orang dewasa berfungsi lebih sempuma dibandingkan dengan otak anak-anak dan orang dewasa memiliki lebih banyak pe-ngalaman berbahasa dibandingkan dengan anak-anak.

3. Strategi yang digunakan.
Penggunaan strategi yang efektif sangat penting agar pembelajaran bahasa kedua dapat ber-hasil. Secara umum strategi pemerolehan bahasa kedua dibagi menjadi dua, yaitu strategi belajar dan strategi berkomunikasi.
Strategi belajar adalah strategi yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar bahasa kedua, seperti penggunaan kamus atau penggunaan TV kabel untuk menangkap siaran-siaran TV yang menggunakan bahasa kedua. Sedangkan strategi berkomunikasi adalah strategi yang digunakan oleh siswa kelas bahasa kedua dan penutur asli untuk dapat saling memahami ketika terjadi ke-buntuan di dalam berkomunikasi di antara mereka karena kurangnya akses terhadap bahasa yang benar, misalnya dengan menggunakan mimik dan gerakan tangan.

4. Motivasi.
Secara sederhana motivasi dapat diartikan sebagai mengapa seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, berapa lama ia rela melakukan aktivitas tersebut dan sejauh mana usaha yang dilakukannya. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai motivasi menunjukkan bahwa motivasi terkait erat dengan tingkat keber-hasilan seseorang di dalam pembelajaran bahasa kedua.
Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.

Faktor lainnya yang mempengaruhi perkembangan bahasa adalah Kebolehan Kognitifa.Kecerdasan individual dinilai menerusi kecakapan individu tersebut berbahasa.Kanak-kanak cerdas lebih cakap penggunaan bahasanya berbanding kanak-kanak terencat akal (gangguan atau masalah pertuturan).
Adapun kesulitan para pelajar/mahasiswa dalam pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition) adalah jika bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajarinya itu memiliki lebih banyak fonem-fonem (bunyi-bunyi) yang tidak dimiliki oleh bahasa ibu (bahasa pertama) dari pelajar bahasa kedua atau bahasa asing tersebut. Kesulitan yang timbul pada umumnya adalah kesulitan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari tersebut. Kesulitan ini disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa tersebut, baik dari sisi cara maupun posisi artikulasi. Kesulitan-kesulitan yang muncul itu mengakibatkan kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing yang dipelajari. Hal itu akan membawa dampak yang sangat fatal jika tidak diajarkan dengan baik kepada pelajar bahasa kedua/asing. Dampak kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing itu selanjutnya akan membawa ke keliruan makna. Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh para pelajar bahasa kedua atau bahasa asing akan membingunkan lawan bicaranya khususnya lawan bicara penutur asli. Kesalahan makna dan kesalahan interpretasi ini mengakibatkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.

Dari sumber lain dikatakan bahwa diantara faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua adalah:
Usia belajar B2 atau BA.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penguasaan B2 atau BA secara sempurna dapat terjadi jika B2 atau Ba asing tersebut dipelajari pada usia kritis (critical period). Patkowsky (1990) mengklaim bahwa semakin dini usia yang mempelajari B2 atau BA, semakin bagus dan sempurna cara pelafalannya. Dia menyatakan bahwa pemerolehan B2 atau BA, terutama dalam hal pelafalan (pronounciation) akan berbeda jika dipelajari sebelum dan sesudah usia kritis (critical period). Usia dini tersebut adalah sebelum usia 15 tahun. Di sisi lain, Bialystock (1997) mengungkapkan bahwa umur subjek atau mereka yang mempelajari B2 atau BA juga dipengaruhi oleh tingkat kerumitan sistem B2 atau BA yang dipelajari tersebut. Artinya jika subjek telah memperoleh atau telah memiliki rasa bahasa pada bahasa pertama atau bahasa ibu (B1), maka pengaruh B1 terhadap B2 atau BA akan semakin besar. Karena itu, dia menyatakan bahwa usia kritis (critical period) adalah pada usia 6 tahun. Pada usia ini, subjek yang mempelajari B2 atau BA belum terlalu menguasai atau memiliki rasa bahasa B1 dan karenanya sangat baik untuk mempejari B2 atau BA. Peneliti lain yang berbicara tentang usia kritis ini adalah Moyer. Dia (Moyer, A, 1999) menyimpulkan bahwa usia kritis memang berpengaruh dalam pemerolehan B2 atau BA karena hal tersebut berhubungan dengan perubahan alat-alat atau artikulasi dan perkembangan otak selama masa perkembangan. Moyer juga memberi penjelasan lain bahwa selama masa perkembangan tersebut, hasil atau tingkat pemerolehan B2 atau BA merupakan interaksi sistem dwibahasa (B1 dan B2) di lingkungan B2.Berdasarkan ketiga peneliti tersebut, terlihat dengan jelas usia memberi pengaruh terhadap tingkat pemerolehan B2 atau BA, walaupun batas usia kritis atau usia yang paling baik mempelajari B2 atau BA masih berbeda-beda.
Lain halnya dengan Piske dkk (2001) yang mengimplementasikan beberapa variabel yang mereka curigai berpengaruh terhadap pelafalan B2. Mereka meneliti usia dwibahasawan (Italia-Inggris), lama tinggal di lingkungan B2 (Canada), frekuensi penggunaan bahasa Italia dan kelancaran menggunakan B1 (Italia) dan B2 (Inggris). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa usia kritis sangat berpengaruh dalam pemerolehan B2 atau BA. Penelitian mereka juga membuktikan bahwa usia merupakan faktor paling berpengaruh dalam pemerolehan B2 dan BA. Penelitian mereka juga mendukung bahwa selain usia, faktor lain yang berpengaruh adalah lama tinggal di lingkungan B2 dan BA, motivasi dan frekuensi penggunaan B2 dan BA tersebut.
Dari beberapa penelitian tersebut di atas jelas sekali bahwa B2 atau BA lebih mudah diperoleh jika dipelajari pada usia kritis. Bahkan hampir semua peneliti menyetujui bahwa B2 dan BA dapat diperoleh secara total seperti penutur asli jika dipelajari sebelum usia 12 tahun. Namun demikian, saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa aksen B2 dan BA dapat dicapai seperti penutur asli walau dipelajari pada usia dewasa dengan beberapa persyaratan. Persyaratan itu antara lain adalah motivasi, input dari penutur asli, dan pemberian latihan khusus (formal instruction) untuk keahlian bahasa tertentu (pelafalan, percakapan, leksikon, tata bahasa, dan wacana).

Lama tinggal di lingkungan B2 atau BA.
Reney dan Flege (1998) merekam 11 penutur asli bahasa Jepang di International Christian Univeristy, Tokyo sejak awal tahun (T1) hingga akhir tahun (T2). Jarak antara T1 dan T2 adalah 42 minggu. Sedangkan penutur asli bahasa Inggris yang tinggal di Birmingham, Alabama, menilai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkan oleh ke 11 mahasiswa tersebut. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa tiga mahasiswa mencapai hasil yang sangat signifikan berbeda antara T2 dan T1. Alasan terhadap kesimpulan ini adalah karena 3 dari 11 mahasiswa tersebut pernah tinggal di lingkungan B2, California selama satu tahun. Hal itulah yang dicurigai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemerolehan B2 atau BA. Piske dkk (2001) mengklaim bahwa korelasi antara pemerolehan B2 atau BA dengan lama tinggal di lingkungan B2 atau BA sangat signifikan. Mereka meneliti korelasi antara kemampuan berbahasa Inggris penutur bahasa Italia dengan usia, lama tinggal di Canada dan frekuensi penggunaan bahasa Italia di lingkungan B2.
Hasil penelitian Piske dkk menunjukkan bahwa korelasi antara kemampuan menggunakan B2 (bahasa Inggris) dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan jika efek frekuensi penggunaan B1 (bahasa Italia) diabaikan. Namun, korelasi antara kedua hal tersebut menjadi tidak signifikan jika faktor usia diabaikan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 atau BA tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan menggunakan B2 atau BA. Lingkungan B2 hanya faktor pendukung dari faktor usia yang lebih dominan mempengaruhi kemampuan B2 atau BA tersebut.

Patut diperhatikan penelitian Flege (1998) yang sama sekali kontras dengan penelitian sebelumnya. Dia menyatakan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 atau BA sama sekali tidak berpengaruh terhadap kemampuan B2 atau BA tersebut. Flege meneliti dua group orang Taiwan yang belajar bahasa Inggris di lingkungan berbahasa Inggris dengan lama tinggal yang berbeda (1,1 tahun VS 5.1 tahun). Kemampuan berbahasa Inggris kedua group ini tidak signifikan berbeda. Dia lalu menyimpulkan bahwa setelah usia kritis, lama tinggal di lingkungan B2 atau BA tidak akan mempengaruhi kemampuan aksen B2 atau BA orang dewasa.

Motivasi.
Faktor ini telah diteliti oleh Bongaerts dkk (1997). Mereka mengamati sebuah group yang terdiri atas 11 orang Belanda yang belajar bahasa Inggris pada usia dewasa. Ke 11 partisipan ini teridentifikasi sebagai partisipan yang sangat tinggi motivasinya belajar bahasa Inggris. Dua dari partisipan tersebut adalah dosen dengan tingkat kemampuan sama dengan pengajar bahasa Inggris. Kedua partisipan ini memiliki prinsip tentang pentingnya berbahasa Inggris tanpa dipengaruhi aksen bahasa Belanda. 5 dari 11 partisipan itu memiliki kemampuan yang sama dengan kontrol group (partisipan berbahasa Inggris). Sayang sekali, Bongaerts dkk tidak menilai jumlah input bahasa Inggris yang diperoleh oleh ke 11 partisipan itu dan kapan mereka memperoleh bahasa Inggris sebagai B2.
Penelitian yang lain adalah penelitian Moyer (1999) yang merekrut 24 penutur bahasa Inggris yang belajar bahasa Jerman pada usia dewasa. Mereka adalah mahasiswa S1 di Jerman yang diajar dengan dengan bahasa pengantar bahasa Jerman. Moyer menyatakan sebuah argumen bahwa disebabkan oleh tingkat profesional (S1) dan motivasi yang tinggi, mereka mampu berbahasa Jerman seperti penutur bahasa Jerman. Walau terdapat korelasi yang sangat tinggi antara faktor mitivasi dengan kemampuan B2, namun sangat sulit untuk menilai jumlah input bahasa Jerman yang diserap setiap hari oleh partisipan Moyer tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor seperti motivasi dan perhatian yang tinggi terhadap pelafalan B2 dan BA tidak secara otomatis membantu kemampuan aksen B2 atau BA, namun pelafalan yang menyerupai tingkat kemampuan penutur B2 atau BA dapat diperoleh walaupun B2 atau BA tersebut dipelajari pada usia dewasa.

Frekwensi Penggunaan bahasa ibu atau B1.
Faktor ini termasuk faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan pemerolehan dan pelafalan B2 atau BA. Guion dkk (2000) meneliti tentang interaksi antara sistem B1 dan B2 pada partisipan yang dwibahasawan dengan melihat efek B1 terhadap penggunaan B2. Mereka menggunakan desain baru dalam penelitian bahasa dengan latar partisipan yang menggunakan B1 di lingkungan B1. Lokasinya (setting) adalah Otavalo, Ekuador. 30 penutur bahasa Quichua yang tinggal di Spanyol terlibat dalam penelitian ini. Mereka terdiri atas tiga group dengan frekuensi penggunaan bahasa Quichua sebagai B1 yang berbeda. Partisipan ini masing-masing direkam pada saat mengucapkan kalimat-kalimat dalam B1 dan bahasa Spanyol (B2). Pendengar monolingual dari masing-masing penutur B1 dan B2 memberi nilai terhadap hasil rekaman tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan yang sering menggunakan B1 kelihatan aksen B1 dalam penggunaan B2, sedangkan partisipan yang menggunanakan B1 dan B2 dengan frekuensi sama, tidak jelas aksen B1 atau pun B2nya. Dengan kata lain, frekuensi B1 sangat singnifikan mempengaruhi B2.

Formal instruction (fi).
Faktor ini dicurigai dan diramalkan berpengaruh terhadap permerolehan B2 atau pun BA. Bongaerts dkk (1997) mengidentifikasi 5 dari 11 partisipan orang Belanda dewasa yang belajar bahasa Inggris dan memiliki aksen sama dengan penutur bahasa Inggris. Demikian halnya dengan partisipan yang terlibat pada penelitian Moyer (1999) yang meneliti penutur bahasa Inggris yang belajar di Jerman. Dalam kedua penelitian ini, para partisipan memiliki aksen B2 yang mendekati level penutur aslinya. Sayangnya, para peneliti ini tidak mencantumkan metode, prototipe atau pun model yang digunakan dalam mengimplementasikan FI dalam kelas. Dengan kata lain, FI telah dilihat secara sepintas oleh beberapa peneliti. Hanya saja metode atau model yang digunakan belum jelas. Demikian pula dengan setting serta lama penggunaan FI yang tidak diungkapkan. Karena itu, sangat sulit untuk membuktikan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut. Sama sulitnya mengulang model atau prototipe FI yang digunakan dalam kedua penelitian.

Jumat, 10 Juni 2011

Perubahan Itu Bukan Sekedar Mimpi Kawan!!

Salah satu sebab stagnantnya perkembangan masyarakat kita, khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, adalah kurangnya pembenahan, pemberdayaan dan penyaluran potensi pribadi masing-masing kita. Kecenderungan individu yang masih berorientasi akan pemenuhan kebutuhan perut dan menghabiskan apa yang ada membuat kita tidak berani ambil resiko untuk memilih aktivitas yang berimplikasi baik untuk orang banyak. Kita sudah merasa nyaman ketika telah mempunyai sumber pemenuhan kebutuhan pribadi, paling banter keluarga, yang jika ditilik lebih lanjut hal ini tak ubah dari keegoisan di tingkat elitnya. Dikatakan demikian karena kondisi seperti yang saya jabarkan diatas membuat falsafah Minang "barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang" (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. red) tidak teraplikasi sepenuhnya. Padahal mestinya, ketika falsafah ini teraplikasi utuh, kita masyarakat Luhak Limo Puluah hidup dengan alat pemenuhan kebutuhan yang berlimpah. (Berlaku juga untuk semua Kabupaten/Kota di Indonesia dan dimana saja).

Falsafah tersebut layaknya memicu "raso jo pareso kita akan eksistensi kondisi sosial sekitar kita. Dan ketika falsafah "barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang" ini diabaikan baik secara makna apalagi aplikasinya, maka wajar ketika ada anak usia sekolah yang jadi pengamen dijalanan, ada orang tua yang masih tinggal di kolong jembatan ataupun mencari ruang berbaring di emperan, ada anggota masyarakat yang sengaja melanggar hukum untuk memenuhi kebutuhan pangan-kesehatan. Mesti kita akui, ketidakpedulian kita berkontribusi pada terciptanya kondisi-kondisi yang kita temui diatas.

Hal lain yang tak kalah penting, yang juga menjadi kontribusi nyata kita atas belum adanya perbaikan kondisi masyarakat, adalah "budaya menunggu". Kita menunggu kapan kesempatan itu datang, menunggu kapan pekerjaan itu datang, menunggu kapan ada orang lain yang memberikan perubahan, menunggu mimpi jadi kenyataan. Padahal manusia diberikan kompetensi sama untuk semua yang kita tunggu itu. Kesempatan itu harus kita ciptakan!! Setiap kita bisa mengadakan lapangan pekerjaan untuk diri kita dan orang lain, setiap kita mampu mengkondisikan keadaan sesuai kebutuhan, setiap kita berdaya melakukan perubahan!! Persoalannya maukah kita? Dan apa yang kita lakukan untuk apa yang kita mau itu.

Melalui tulisan ini, saya menghimbau, mari kita lakukan perubahan!! Mulai dari diri kita pribadi. Mulai dari memanajemen sikap kritis kita terhadap apa yang dilakukan orang lain, sementara kita tidak melakukan apa-apa. Mulai dengan membarakan rasa dan sikap kekeluargaan sebagai unsur penting dari budaya Timur umumnya dan Minang khususnya, sebagai pondasi dasar kepedulian atas sesama sekaligus sebagai kekuatan kita berbangsa dalam menciptakan perubahan. Saya percaya, jika hal ini kita lakukan secara berjama'ah, maka tidak ada omong kosong untuk perubahan.

Saya sampaikan ini untuk memprovokasi kita semua mengejar apa yang saat ini seharusnya sudah dalam genggaman kita. Salam Perubahan!!

Selasa, 07 Juni 2011

Dengan Lembut, Sayang . . .


Aku mencintaimu dengan mencipta sejarah.
Bersama batas kesabaran yang tak pernah mampu kupertahankan sebelumnya, sebelum mengenalmu.
Akupun hanya mampu menyuarakan kesal sampai di dinding bari.
Karna saat ia menembusnya, kau akan lebih tersakiti.

Maafkan juga aku untuk cinta yang sulit kau pahami.
Karna aku tak menemukan kata yang mampu menjelaskan kepadamu.

Aku bangun setiap malam untuk menciptakan keindahan dengan imajinasi yang kau sebut terlalu tinggi.
Mungkin, tapi tak setinggi romeo dalam novelnya Shakespeare.
Juga tak semewah cintanya Malin Kundang dalam dongeng yang di ceritakan nenek kita.

Hanya keindahan saat kau membuatku merasa seutuhnya sebagai lelaki,
dan aku pecinta satu-satunya untuk kewanitaanmu.

Dengan lembut, semesra hembusan angin untuk gemerisik daun.


                                        08 Juni 2011

Sabtu, 04 Juni 2011

Tanya Jawab


Pria       :               Wanita,untuk memonumenkan kesungguhan,
                                Aku ingin menikahimu.
                                Untuk menjawab ragumu atasku,
                                Aku akan mempersuntingmu segera.
                                Untuk membuktikan cakap janjiku,
                                maka sungguh akan kutindas ragumu.
                                Sekalipun aku belum mampu menyediakan tempat berteduh,
dan semua syarat bertahan hidup untuk kita berdua.
                Apalagi jika ditambah mereka,

                yang akan memiliki nomor berikutnya.

                Untuk membuatku berani melakukan semuanya,
tolong jawab tanyaku ini:
Apakah kita harus tetap melakukannya?
Dengan kondisiku yang jelas tadi?
Wanita :             Pria, aku harus tetap ragu atau boleh percaya?

                Si pria yang berpikir hanya bisa diam, menjawab pertanyaan jawaban itu.

Suasanaku

                                                                                                         (Dedicated for you; Sistha)




Suasanaku:

Aku rela bias bersama sinar bulan,

setelah kami pudar malam bagi pejalan kaki.

Sayang aku tak rela jika matahari sebagai sebabnya.


Aku sedang bersedih, tapi kuharap kamu tidak.

Aku sedang marah, semoga kamu tidak.

Aku sedang tak enak hati, dan mudah-mudahan kamu tidak.


Bawalah kesedihan dan keluh kesahmu dalam tidurmu.

Dan campakkanlah ia disana,,dan bangunlah esoknya dg sebuah tawa dan kebahagiaan kakaqq...

:-)

Tawamu adalah tawaku,,

Sedihmu juga sedihku...

# jangan sedih lagi y kkaq,,cepat tersenyum kembali spt dirimuuu.,
^-^

Terimakasih untuk sentuhan rasa dikata-katamu.


Terasa lebih mending dari sebelumnya.